Belajar Bertani di Pusat Pelatihan Pedesaan Swadaya (P4S) cara tani Kuningan.
Mentor : Tawa Amirudin
Biodata
- Nama : Tawa Amirudin
- Lahir : Pasawahan, Kuningan Jawa Barat,16 mei 1959
- Istri : Eni Darsinni (47)
- Anak : Yayat Hidayat (29), Asep Rohayat (24),Yoyon Johana (16)
- Pendidikan : Lulus SMP Negeri Cikalang, Kabupaten Cirebon, 1975.
- Organisasi : Ketua KUD Bina Bakti, Kecamatan Pasawahan, Anggota Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat
- Penghargaan :
- Pemuda Tani Terbaik se-Jawa Barat dari Departemen Pertanian,1985
- Pembimbing pada pertukaran petani dari departemen luar Negri dan departemen pertanian.
Tiga tahun ini, lima petani dari seorang staf dari Lembaga Pertanian Senegal bertandang kepondoknya. Sementara itu tahun lalu enam petani asal Gambia menimba ilmu kepadanya, Mereka semua belajar dan praktik langsung di sawah-sawah milik petani di desa Pasawahan,kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan.
“Tahun ini tak hanya petani Afrika. Ada juga satu petani Madagaskar, tiga petani Myanmar, dan dua petani asal Kamboja. Totalnya ada 12 Orang. Mereka itu peserta dari program yang di buat Departemen Luar Negri RI bersama Departemen Pertanian,”ujar Tawa yang di percaya menjadi Mentor bagi petani asing dalam Apprenticeship program for asing & African Farmers in Indonesia 2009.
Tawa mengaku, tidak gampang mengajari atau bertukar pikiran dengan petani dari Negara dan budaya berbeda. Kendala pertama adalah bahasa. Untungnya, laki-laki yang lahir 50 tahun lalu di kuningan ini di temani dua temannya yang cakap berbahasa Inggris. Masalah kedua, tak jarang petani yang magang bukan petani padi.bahkan,ada diantara mereka yang peternak sapi.
Akibatnya, beberapa kali petani asing itu bersikap asal-asalan, tidak bersemangat belajar, dan tidak mau berpartisipasi. Padahal tujuan mereka adalah menimba ilmu yang bisa digunakan untuk mengembangkan sektor pertanian di Negara nya.
Bekerja menjadi Mentor di akuinya harus lebih sabar agar ilmu dan pengalaman bertani yang diberikan bisa diterima dengan baik oleh petani-petani didiknya. Terkadang keinginan untuk sedikit berbicara keras agar petani asing itu semangat belajar harus dikubur dalam-dalam.sebab, dia tidak ingin hal itu ditanggapi lain oleh peserta magang. Namun, dia tidak segan marah jika peserta magang dari Indonesia. Sebab, tujuan utama belajar itu adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani itu sendiri.
Untungnya, pengalaman menjadi pendidik bukan baru pertama kali dilakukanya. Sebab, sejak sekitar 10 tahun yang lalu rumahnya selalu menjadi rujukan siswa siswi Sekolah Menengah Pertanian Atas (SPMA) dari Garut, Indramayu, Bogor, dan Sumedang. Setiap kali, rumahnya juga menjadi tempat berkonsultasi para petani untuk mencari jawaban atas masalah pertanian yang mereka hadapi.
Tidak hanya itu, Karena pernah magang bertani selama 9 tahun di Jepang, melalui organisasi Ikatan Alumni Magang di Jepang (Ikamaja), Tawa pun mendapat kepercayaan Dari Dinas Pertanian Kuningan untuk membekali semangat para petani yang akan berangkat magang ke Jepang.
Praktik dengan petani
Saat ditanya dari mana dia memperoleh materi yang diberikan kepada anak didiknya atau petani-petani asing itu, jawaban nya singkat, yaitu dari pengalamannya bertani. Hampir semua yang diberikan itu berasal dari hasil kerjanya dan pengamatan di lapangan. Namun, itu didukung pelatihan dan pembekalan teori dari sejumlah balai besar pertanian di Jawa Barat, Penyuluh pertanian dari Dinas di Daerah, maupun Departemen Pertanian.
Saat mengajari petani asing dia tak sekedar memberikan cara bertani ala petani Indonesia. Sebelumnya dia mencari Informasi tentang kondisi lahan dan model pertanian yang berkembang dari Negara asal petani itu. Informasi tersebut katanya di peroleh dari Departemen Pertanian atau petani yang pernah magang di Luar negeri.
“Jadi, saat mendidik petani yang lahan nya di pantura (pantai utara) dengan yang dari gunung jelas beda pola pengolahan lahan yang disampaikan. Tiap lahan punya kelebihan dan kekurangan nya masing-masing,”tambahnya.
Dari sawah sewa miliknya seluas 3,5 hektar, Tawa mengajarkan pola bercocok tanam yang dianggap, bahkan terbukti mampu meningkatkan produktivitas lahan. Mulai dari proses menyemai, membajak, menanam, menyiangi, memupuk sampai panen padi yang telah menguning. Hampir 90% adalah praktik disawah dan sisanya teori atau sekedar obrolan bertukar pengalaman.
Sebelum mulai bercocok tanam, para petani diarahkan memilih benih berkualitas dan juga memerhatikan kondisi lahan yang akan digarap, berupa hamparan atau lereng. Untuk pola tanam dan pemeliharaan.Tawa menularkan system logowoatau system rice intensification (SRI), mengatur jarak tanam agar produktivitasnya maksimal.
Ada juga pengenalan pola tabur benih langsung (tabela), yang sangat cocok di terapkan pada musim kemarau, atau daerah yang pasokan airnya terbatas. Yang tidak kalah penting nya, menyadarkan petani melakukan pemupukan berimbang yang kerap mereka abaikan. Sebab,dengan memupuk padi sesuian aturan dan kebutuhan tanah ,efesiensi biaya bisa mencapai 25%.
“Memang, saya mengajarnya tidak urut seperti jadwal karena menyesuaikan dengan sawah tempat praktik. Kan praktik tidak sama dengan teori,”ujar Tawa yang mendokumentasi kegiatan pemagangan itu kedalam cakram untuk dibagikan kepada petani asing tersebut.
Etos Kerja
Hal kedua yang ingin dia tularkan adalah nonteknis, yaitu berkaitan dengan etos kerja petani. Menurut dia, petani di Negara berkembang termasuk Indonesia masih menganggap pekerjaan mereka adalah pekerjaan sampingan yang tak perlu perhitungan serius. Akibatnya, para petani tidak memiliki manajemen usaha yang baik, dan ujung-ujungnya merugi.
Etos kerja yang dia inginkan adalah seperti petani di Jepang diantaranya, petani harus disiplin dan tidak bergantung pada satu sumber komuditas. Disiplin dalam hal waktu dan cara bertani yang mengikuti aturan, seperti pemupukan berimbang.
Berkaitan dengan etos kerja, ternyata semangat pemuda untuk terjun kedalam dunia pertanian sangat rendah bahkan mereka sangat enggan. Itu terbukti dari pengamatannya di lapangan lebih banyak orang tua yang bertani di bandingkan dengan anak muda. Mereka yang bekerja di sawah rata sebagian besar berusia 40 tahun keatas.
Tawa kawatir, 5-10 tahun kedepan tidak ada lagi petani muda di Indonesia. Padahal, sektor pertanian merupakan lapangan usaha yang menyerap banyak tenaga kerja. Oleh karena itu dia berharap pemerintah lebih memfasilitasi petani-petani muda untuk bercocok tanam yang baik dan produktif. Tawa juga menyatakan siap menjadi mentor mereka.
Dirangkum pada Harian Kompas edisi Rabu 3 juni 2009
Dirangkum oleh : TIMBUKTU HARTHANA
Dirangkum oleh : TIMBUKTU HARTHANA